Qurban dan Keikhlasan Tanpa Pamrih: Saat Memberi Tak Lagi Soal Balasan, Tapi Soal Ketulusan yang Dalam

Qurban sebagai pelajaran tentang keikhlasan tanpa pamrih (Gemini AI)

DESKRIPSI : Qurban mengajarkan bahwa memberi tak selalu tentang hasil atau pujian. Ia tentang keikhlasan yang diam-diam membentuk hati: tanpa pamrih, tanpa sorotan, hanya untuk Dia yang Maha Melihat.

CHARACTER LEARNING – Ada satu masa dalam hidup saya di mana saya memberi dengan harapan yang diam-diam: berharap dilihat, dihargai, atau setidaknya dikenang. Entah itu bantuan kecil kepada teman, waktu yang saya korbankan untuk orang lain, atau sekadar kebaikan yang saya lakukan tanpa diminta. Saya bilang pada diri sendiri, “Ini ikhlas.” Tapi jujur saja, jauh di dalam hati, saya ingin sesuatu kembali.

Hingga satu hari, saya duduk di antara deretan anak-anak TPA yang sedang mendengar kisah tentang Nabi Ibrahim dan qurban. Seorang ustaz sederhana bercerita dengan suara pelan: tentang Nabi yang rela mengorbankan putranya karena perintah Allah. Tentang Ismail yang tak lari dari ketentuan, malah menyerahkan diri dengan ketenangan. Dan tentang bagaimana akhirnya Allah mengganti pengorbanan itu dengan seekor domba.

Saya sudah tahu kisah ini sejak kecil. Tapi sore itu, entah kenapa, rasanya berbeda. Saya tidak mendengar cerita tentang perintah dan pahala. Saya justru mendengar bisikan tentang keikhlasan. Tentang bagaimana qurban bukan sekadar menyembelih hewan, tapi menyembelih ego. Bukan soal darah yang mengalir, tapi tentang harapan-harapan tersembunyi yang kita lepaskan. Dan mungkin, itu yang paling sulit.

Ketika Memberi Tak Lagi Soal Balasan

Kita hidup dalam budaya yang suka menimbang: seberapa besar kita memberi, dan seberapa besar balasannya. Kita menghitung dalam hati: sudah seberapa sering aku membantu dia, tapi kenapa dia tak juga peduli? Sudah seberapa ikhlas aku mencintai, tapi kenapa dia pergi juga?

Padahal, qurban—jika kita renungkan sungguh-sungguh—mengajarkan sesuatu yang sangat berbeda. Nabi Ibrahim tidak bertanya, “Apa yang aku dapat jika aku melaksanakan perintah ini?” Ismail pun tidak berkata, “Kalau aku sabar, apakah aku akan diselamatkan?”

Tidak ada tawar-menawar. Yang ada hanya penyerahan. Hati yang melepaskan, bukan menunggu balasan.

Dan saya pun mulai berpikir: seberapa sering saya mengaku ikhlas, padahal diam-diam menyimpan pamrih? Seberapa banyak kebaikan saya lakukan bukan karena Allah, tapi karena ingin terlihat baik? Seberapa sering saya memberi dengan harapan nama saya disebut, bukan agar nama Allah dibesarkan?

Ikhlas Itu Sunyi

Kita sering menyamakan ikhlas dengan rela. Tapi sebenarnya, ikhlas adalah lebih dari itu. Ia seperti air jernih di dasar sumur yang tak terlihat, tapi selalu menghidupi. Ia adalah perasaan damai yang datang setelah kita melepaskan semua ekspektasi. Ikhlas adalah saat kita berbuat baik dan tak peduli apakah kebaikan itu diketahui orang atau tidak.

Saya teringat satu momen sederhana. Waktu itu, saya diam-diam mentransfer uang kepada seorang teman yang sedang kesulitan, tanpa menyebut nama. Beberapa hari kemudian, ia bercerita betapa terbantunya ia karena ada seseorang yang menolongnya secara anonim. Saya tersenyum dalam hati. Bukan karena merasa hebat. Tapi karena untuk pertama kalinya, saya merasa benar-benar ringan. Tidak ada beban ingin dihargai. Tidak ada keinginan untuk diakui. Hanya ada kehangatan dalam dada yang sulit dijelaskan.

Mungkin begitulah rasa ikhlas. Ia tidak heboh. Ia tidak meminta disorot. Tapi justru karena sunyinya itu, ia membentuk kita secara perlahan.

Belajar dari Sapi, Kambing, dan Ego yang Disembelih

Setiap Idul Adha, saya melihat orang-orang berduyun-duyun ke tempat penyembelihan. Ada yang membawa hewan qurban sendiri. Ada yang berfoto dengan hewan yang akan disembelih. Ada pula yang mengunggahnya ke media sosial dengan caption penuh syukur.

Saya tidak ingin menilai niat orang lain, karena saya pun masih belajar. Tapi saya sempat bertanya pada diri sendiri: apakah saya benar-benar berqurban? Atau saya hanya sedang membeli nama baik? Apakah saya menyembelih kambing, atau hanya sekadar mempercantik citra diri?

Qurban bukan sekadar soal hewan. Ia adalah simbol. Simbol bahwa kita bersedia menyembelih ego, kepentingan pribadi, dan keinginan untuk selalu diakui. Karena yang diterima Allah bukan daging atau darahnya, tapi ketakwaan dari hati yang menyerahkan diri.

Ketika Qurban Tak Lagi Soal Ritual

Beberapa tahun terakhir, saya mulai melihat qurban bukan hanya sebagai ibadah tahunan. Tapi sebagai latihan mental, spiritual, dan sosial. Latihan untuk terus memberi tanpa pamrih. Latihan untuk rela, bahkan saat tidak mendapat apa-apa kembali. Latihan untuk tidak berharap imbalan, selain dari Tuhan.

Saya menyadari, hidup pun dipenuhi dengan bentuk-bentuk qurban kecil setiap hari. Ibu yang bangun lebih awal agar anaknya bisa sarapan. Ayah yang diam-diam mengurangi kebutuhan pribadi demi biaya sekolah. Guru yang tetap mengajar meski murid-muridnya tak menghargai. Semua itu qurban. Dan mereka semua adalah teladan keikhlasan.

Lalu saya pun bertanya pada diri sendiri, “Apa yang sudah aku qurbankan hari ini?” Mungkin bukan sapi atau kambing. Tapi waktu. Energi. Harga diri. Atau bahkan rasa ingin menang sendiri.

Tidak Akan Ada yang Sia-Sia

Kadang, saat memberi, kita merasa kecewa karena kebaikan tak dibalas. Tapi jika kita percaya pada Tuhan yang Maha Melihat, bukankah semua akan sampai pada waktunya?

Qurban mengajarkan bahwa tidak ada pemberian yang sia-sia. Bahwa setiap keikhlasan yang kita tanam akan tumbuh, meski dalam bentuk yang tak selalu bisa kita duga. Mungkin ia kembali dalam bentuk ketenangan hati. Mungkin dalam bentuk kekuatan saat kita rapuh. Atau bahkan hanya dalam bentuk keyakinan bahwa kita sedang berjalan di jalan yang benar.

Dan bukankah itu cukup?


Kini, setiap kali Idul Adha tiba, saya tidak lagi hanya melihat daging yang dibagikan, atau kambing yang disembelih. Saya melihat sesuatu yang lebih dalam: latihan tahunan untuk kembali menyucikan niat. Untuk belajar memberi tanpa berharap kembali. Untuk menanam keikhlasan, meski tak ada yang tahu.

Karena di hadapan Tuhan, yang dinilai bukan seberapa banyak yang kita beri, tapi seberapa tulus kita melakukannya. Dan qurban, sejatinya, adalah soal itu: keikhlasan, yang tak butuh sorotan—hanya butuh hati yang berserah.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *