Qurban di Tengah Kekurangan: Ketika Keluarga Miskin Mengajarkan Makna Syukur yang Sebenarnya

Deskripsi :
Kisah keluarga sederhana yang tetap berqurban meski hidup pas-pasan. Dari mereka, kita belajar bahwa syukur bukan soal jumlah, tapi hati yang yakin bahwa Allah selalu cukup.


Ketika Keluarga Miskin Tetap Bersyukur Lewat Qurban

Ada satu momen Idul Adha yang tak pernah bisa saya lupakan. Bukan karena jumlah hewan yang disembelih, atau ramainya orang di masjid. Tapi karena pertemuan sederhana dengan sebuah keluarga miskin—yang mengajari saya makna syukur yang selama ini sering saya abaikan.

Keluarga ini hidup di pinggiran kampung. Rumahnya sempit, berdinding papan dengan atap seng yang sudah berkarat. Penghasilan kepala keluarganya tak menentu, kadang dari menjadi buruh angkut di pasar, kadang dari memulung barang bekas. Istrinya menjahit baju tetangga untuk menambah pemasukan. Anak-anak mereka belajar di sekolah negeri, dengan seragam bekas yang dijahit ulang agar tetap rapi.

Namun ada yang mengejutkan saya: di Idul Adha tahun itu, mereka ikut berqurban. Bukan kambing besar, bukan sapi. Tapi seekor kambing kecil yang mereka kumpulkan uangnya selama satu tahun.

“Kami Ingin Anak-Anak Tahu Rasanya Berbagi”

Saya sempat bertanya, “Pak, kenapa tetap qurban? Bukankah kebutuhan harian saja sudah pas-pasan?”

Jawaban sang ayah membuat saya terdiam cukup lama. “Kami ingin anak-anak tahu rasanya memberi, bukan hanya menerima. Hidup ini bukan soal punya atau tidak, tapi soal hati yang mau berbagi. Kalau kami tunggu kaya dulu, mungkin gak akan pernah qurban seumur hidup.”

Kalimat itu menampar saya. Karena jujur saja, sering kali saya menunda qurban dengan alasan “nanti saja kalau penghasilan naik”. Sering juga merasa bahwa qurban itu untuk orang-orang yang sudah mapan. Tapi dari keluarga ini, saya belajar bahwa qurban bukan soal kemampuan, tapi soal kemauan.

Menabung Seribu, Dua Ribu, Sampai Cukup

Sang istri cerita bahwa mereka menabung setiap hari—kadang cuma seribu, kadang dua ribu. Uang kecil yang mereka sisihkan dari hasil kerja harian. Mereka simpan dalam kaleng bekas biskuit, disembunyikan di lemari pakaian agar tidak tergoda untuk dipakai.

Kadang, kalau ada kebutuhan mendadak, mereka terpaksa ambil sebagian. Tapi selalu disisihkan kembali. “Pelan-pelan, insyaAllah sampai,” kata sang ibu sambil tersenyum. Dan akhirnya cukup. Seekor kambing kecil, hasil dari kesabaran dan niat besar.

Saya jadi ingat betapa sering saya belanja impulsif untuk hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Tapi saat diajak untuk berqurban, saya bisa berdalih dengan berbagai alasan. Padahal mungkin yang kurang bukan harta, tapi hati yang belum yakin.

Qurban: Bukan Tentang Daging, Tapi Tentang Rasa

Saat hari penyembelihan tiba, anak-anak keluarga itu ikut menyaksikan. Mereka tidak malu dengan ukuran kambing yang kecil. Mereka tidak minder dibanding hewan qurban dari rumah-rumah besar lain. Sebaliknya, mereka terlihat sangat bahagia.

Anak sulungnya bahkan dengan bangga berkata, “Ini kambing dari tabungan kami. Setahun, loh!” Saya tersenyum haru. Anak itu mungkin belum tahu banyak teori syukur, belum kenal istilah “ikhlas” dalam literatur spiritual. Tapi ia sudah mempraktikkannya dengan nyata.

Di situlah saya paham, bahwa qurban bukan tentang besar atau kecilnya hewan. Tapi tentang sebesar apa hati kita memberi, dan setulus apa kita mengharap ridha-Nya. Karena Allah tidak melihat daging atau darahnya, tapi keikhlasan yang tersembunyi di balik setiap pengorbanan.

Keluarga Itu Mengajari Saya Bersyukur Kembali

Sejak bertemu keluarga itu, saya jadi lebih sering menatap ke bawah daripada ke atas. Dulu, saya suka mengeluh: gaji kurang, cicilan banyak, waktu istirahat kurang. Tapi ternyata, ada keluarga yang hidup jauh lebih sederhana, dan tetap merasa cukup.

Mereka tidak punya kulkas dua pintu, tapi hati mereka dingin dari iri. Mereka tidak punya mobil mewah, tapi anak-anak mereka penuh cinta. Mereka tidak punya gaji besar, tapi rumah mereka dipenuhi syukur dan tawakal.

Dan lewat qurban, mereka menunjukkan bahwa “bersyukur” bukan kata-kata manis dalam ceramah. Tapi keputusan yang dijalani, meski berat.

Ketika Harta Tidak Banyak, Tapi Hati Tidak Kekurangan

Kisah ini bukan untuk mengagung-agungkan kemiskinan. Tapi untuk mengingatkan, bahwa kebahagiaan tidak selalu lahir dari kelimpahan materi. Ada orang kaya yang tetap merasa kurang, dan ada orang miskin yang hidupnya terasa lapang karena hatinya luas.

Qurban bisa jadi tolak ukur: seberapa ikhlas kita memberi saat kita merasa kekurangan? Seberapa besar rasa percaya kita bahwa Allah akan cukupkan apa yang kita sisihkan?

Karena justru di saat kita “tidak punya banyak” tapi masih bisa berbagi, di situlah kualitas iman kita diuji. Dan di situlah Allah melihat dan tersenyum pada hamba-Nya yang berusaha.

Menyemai Qurban dalam Diri dan Keluarga

Sejak itu, saya mulai mengajak anak-anak di rumah untuk ikut menyisihkan uang jajan mereka setiap bulan. Bukan karena nilai uangnya besar, tapi agar mereka belajar bahwa memberi bukan kewajiban orang kaya, tapi sifat mulia yang bisa dimiliki siapa saja.

Saya juga mulai menulis di kalender: “Tabungan qurban” agar niat itu selalu saya jaga. Dan setiap kali merasa berat menyisihkan sebagian rezeki, saya teringat wajah anak-anak di kampung itu, yang berseri-seri karena kambing kecil mereka menjadi jalan pahala.

Qurban bukan hanya untuk mereka yang mampu. Qurban adalah untuk siapa saja yang ingin hatinya dibersihkan, egonya ditundukkan, dan syukurnya dilatih.


Penutup: Bersyukur Lewat Memberi

Idul Adha bukan tentang siapa yang paling banyak berqurban, tapi siapa yang paling jujur dalam niatnya. Dan sering kali, pelajaran spiritual justru datang dari mereka yang kita anggap “tidak mampu”.

Keluarga miskin itu mengajari saya, bahwa syukur bukan soal angka, tapi soal rasa. Mereka tidak menunggu kaya untuk berbagi. Mereka berbagi, karena percaya bahwa dengan memberi, mereka tidak akan pernah miskin.

Semoga kita bisa belajar dari mereka. Dan semoga qurban tahun ini tidak sekadar rutinitas, tapi menjadi perjalanan syukur yang membawa kita lebih dekat kepada-Nya.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *