Qurban Sebagai Kritik Sosial terhadap Gaya Hidup Boros: Saat Memberi Lebih Bermakna dari Membeli

DESKRIPSI : Qurban bukan sekadar ibadah, tapi kritik sunyi terhadap gaya hidup berlebihan. Ia mengajak kita merenung: sudahkah hidup kita cukup, atau hanya sibuk membeli tanpa makna?
CHARACTER LEARNING – Beberapa waktu lalu, saya melihat postingan seseorang yang memamerkan koleksi tas branded-nya. Harga satu tasnya bisa setara dengan satu ekor sapi limousin yang biasa dikurban pada Idul Adha. Dalam hati saya tidak marah, tidak juga iri. Hanya diam. Lalu teringat satu pertanyaan yang pelan-pelan muncul: untuk apa semua itu?
Bukan, saya tidak ingin menghakimi. Tapi sejak beberapa tahun terakhir, saya makin sering bertanya—lebih pada diri sendiri: apakah hidup saya ini sudah terlalu ramai dengan hal-hal yang tidak perlu?
Qurban dan Makna “Melepas”
Saya menyukai momen Idul Adha karena ia bukan sekadar ritual, melainkan juga refleksi. Qurban—yang artinya “mendekat”—adalah panggilan untuk melepas sesuatu yang kita cintai. Bukan karena benda itu buruk, tapi karena kita sedang belajar bahwa tidak semua yang kita sukai harus kita miliki.
Di tengah dunia yang membujuk kita untuk membeli terus-menerus, qurban seperti titik diam. Seolah berkata, “Berhenti sebentar. Sudah cukupkah yang kamu miliki? Sudah bahagiakah kamu dengan semua itu?”
Saat orang-orang berdesakan di mal demi diskon besar, qurban hadir dengan wajah sebaliknya: memberi, bukan mengambil. Melepaskan, bukan menimbun. Dan justru di situ ada kelegaan yang tak bisa dibeli.
Qurban Mengingatkan: Tak Semua Orang Hidup dalam Kelimpahan
Pernahkah kita sadar, bahwa satu hari dalam setahun, daging menjadi milik bersama? Bahwa mereka yang mungkin selama ini hanya makan tempe dan tahu bisa mencicipi gulai daging, walau hanya setahun sekali?
Saya jadi teringat percakapan dengan seorang petugas distribusi daging qurban di pelosok desa. Ia bercerita, ada ibu-ibu yang menangis ketika menerima satu kantong daging. “Baru kali ini, anak saya bisa makan daging,” katanya.
Satu kantong kecil, tapi mampu membuat anaknya bahagia. Dan di sisi lain, saya—dan mungkin juga kamu—pernah mengeluh karena daging di kulkas terlalu banyak dan bingung harus dimasak apa.
Qurban, dalam diamnya, menampar gaya hidup boros yang sering kita anggap wajar. Ia menyentil hati: jangan-jangan, di saat kita sedang sibuk membuang-buang makanan, ada yang hanya ingin sesuap daging dengan nasi putih.
Hidup dalam Keberlimpahan yang Salah Arah
Banyak dari kita hidup dalam keberlimpahan yang aneh: lemari penuh, tapi merasa tidak punya baju; kulkas penuh, tapi merasa tidak punya lauk; rumah luas, tapi hati sempit. Kita merasa kurang, padahal kita terlalu banyak menumpuk.
Qurban hadir untuk mengingatkan bahwa keberkahan bukan terletak pada seberapa banyak kita miliki, tapi seberapa banyak yang bisa kita relakan. Kita tidak kekurangan, kita hanya tidak biasa merasa cukup.
Saya pun mulai bertanya pada diri sendiri: kalau saya bisa mengeluarkan uang jutaan untuk barang yang hanya saya pakai sesekali, kenapa terasa berat saat harus berqurban? Padahal satu ekor kambing bisa memberi makan belasan keluarga. Padahal satu niat tulus bisa menjadi jembatan menuju cinta Tuhan.
Kritik Sosial yang Tidak Membentak
Yang menarik dari qurban adalah ia tidak menggurui. Tidak melarang. Tidak memaksa. Ia hanya hadir sebagai praktik yang sangat manusiawi. Ia tidak menyerang kemewahan, tapi menawarkan kedalaman. Tidak mencela belanja, tapi mengajak bertanya: apa yang benar-benar penting?
Maka saya belajar, qurban adalah bentuk kritik sosial yang paling lembut namun tajam. Ia mengkritik bukan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan. Ia tidak berteriak, tapi diamnya menyuarakan banyak hal: soal kesenjangan, soal keserakahan, soal ketidaktahuan kita akan penderitaan sesama.
Ia mengajak kita menengok keluar dari rumah kita yang nyaman, lalu melihat dunia yang tidak selalu baik-baik saja.
Anak-Anak dan Kesadaran Sosial
Saya percaya, qurban bisa menjadi momen penting untuk mengajarkan empati pada anak-anak. Bukan sekadar tentang menyaksikan hewan disembelih, tapi lebih dalam dari itu: tentang menyadari bahwa ada orang lain yang butuh, yang lapar, yang tidak seberuntung dirinya.
Tahun lalu, saya ajak anak saya ikut mendistribusikan daging. Kami berjalan dari satu rumah ke rumah lain di daerah pinggiran. Di beberapa rumah, saya melihat anak-anak kecil bersorak gembira menerima daging.
Anak saya sempat bertanya, “Bunda, mereka nggak punya ayam atau daging ya di rumah?” Saya menjawab, “Nggak, Nak. Mungkin mereka lebih sering makan nasi garam daripada daging.”
Dia terdiam lama. Lalu berkata pelan, “Aku nggak akan buang makanan lagi, ya, Bunda.”
Di situlah saya sadar, bahwa qurban bukan hanya ritual ibadah. Ia adalah pelajaran hidup. Tentang bersyukur. Tentang cukup. Tentang berbagi. Tentang menahan diri dari gaya hidup yang hanya memuaskan ego, tapi melahirkan kehampaan.
Qurban: Menjadi “Titik Henti” di Tengah Kehidupan yang Sibuk
Kita hidup di era di mana semuanya serba cepat, serba ingin lebih. Lebih kaya, lebih cantik, lebih populer. Tapi qurban, seperti oase di tengah padang, adalah ajakan untuk berhenti sejenak. Bertanya, bukan tentang apa yang kurang dari hidup kita—tapi apa yang bisa kita kurangi dari kesenangan pribadi, demi memberi manfaat bagi sesama.
Barangkali itulah mengapa dalam setiap penyembelihan qurban, ada rasa hening yang khidmat. Karena di sanalah kita menyaksikan makna hidup: bahwa kita datang bukan untuk memiliki segalanya, tapi untuk memberi sebagian dari yang kita miliki.
Penutup: Qurban sebagai Jalan Pulang
Jika kita mau jujur, banyak dari kita sudah terlalu jauh tersesat dalam gaya hidup boros. Kita menumpuk, menyimpan, memuaskan mata, tapi lupa memberi makan hati. Kita merasa punya segalanya, tapi masih merasa kosong.
Qurban, dalam kesunyiannya, memberi kita arah pulang. Pulang kepada rasa cukup. Pulang kepada kepedulian. Pulang kepada niat baik yang tak perlu dipamerkan. Pulang kepada keikhlasan yang pelan-pelan menyembuhkan luka sosial yang kita abaikan selama ini.
Karena pada akhirnya, qurban sejati bukan tentang harga sapi atau kambing yang kita beli. Tapi tentang apakah kita sudah bisa merelakan sebagian milik kita—demi kebaikan yang lebih besar.
Dan tentang apakah kita masih bisa merasa cukup, di tengah dunia yang selalu bilang “belum cukup”.[*]