Saat Anak Bertanya Tapi Kita Menyuruh Diam: Refleksi Kecil tentang Pendidikan dan Luka yang Tak Terlihat

Jangan menyuh anak untuk diam ketika ia bertanya (Cici AI)

Deskripsi: Setiap kali anak ingin bertanya lalu disuruh diam, bisa jadi itulah awal dari tumbuhnya luka dan hilangnya rasa percaya diri.

CHARACTER LEARNING – Aku masih ingat, waktu kecil aku pernah mengangkat tangan untuk bertanya di kelas. Dengan polos dan penuh semangat. Tapi apa yang kudapat bukan jawaban, melainkan lirikan sinis dan kalimat pendek: “Diam saja dulu, jangan banyak tanya.”

Sepele? Mungkin terdengar begitu bagi sebagian orang. Tapi aku, anak kecil yang masih belajar mengenali dunia, mengingat momen itu hingga sekarang. Bukan karena pertanyaanku penting, tapi karena sejak saat itu, aku mulai ragu. Ragu untuk bertanya. Ragu untuk bersuara. Ragu untuk percaya bahwa pertanyaanku layak didengar.

Dan mungkin, aku bukan satu-satunya.

Banyak anak di sekitar kita tumbuh dalam lingkungan yang membatasi rasa ingin tahu. Kita sering lupa bahwa anak-anak belajar bukan hanya dengan menghafal, tapi dengan bertanya. Mereka mengeja dunia lewat tanya. Mereka membentuk logika dan kepercayaan diri dari keberanian bertanya. Tapi apa yang sering kita lakukan? Kita potong pertanyaannya. Kita anggap mengganggu. Kita suruh diam karena waktunya tidak tepat, karena kita sedang sibuk, atau karena kita sendiri tak tahu jawabannya.

Dan seperti itulah perlahan, anak-anak belajar bahwa bertanya itu salah. Bahwa keingintahuan itu merepotkan. Bahwa diam lebih aman.


Aku paham, tidak semua pertanyaan anak muncul pada saat yang pas. Kadang mereka bertanya saat kita sedang kelelahan, sedang menghadapi tekanan, atau saat topik yang mereka angkat terasa ‘aneh’. Tapi inilah tantangannya: apakah kita cukup dewasa untuk tidak mematikan semangat belajar mereka hanya karena ketidaksiapan kita?

Karena setiap kali kita menyuruh anak diam saat mereka ingin bertanya, bisa jadi itulah awal dari sebuah luka psikologis yang kecil—yang mungkin tidak mereka sadari saat itu, tapi membekas dalam jangka panjang. Luka yang tumbuh menjadi keraguan diri, ketidakberanian menyuarakan pikiran, dan ketakutan akan penolakan.

Dan pendidikan sejati, menurutku, tidak akan lahir dari situasi seperti ini.


Aku teringat satu kalimat yang pernah ditulis oleh seorang pendidik: “Anak-anak tidak kekurangan pengetahuan, mereka hanya kekurangan orang dewasa yang sabar menuntun.” Kalimat ini menamparku. Karena sering kali kita tergesa. Kita ingin anak paham, tapi tak ingin repot ditanya. Kita ingin anak tumbuh cerdas, tapi tak menyediakan ruang aman untuk mereka penasaran.

Padahal bukankah setiap pertanyaan anak adalah bentuk keberanian? Berani berpikir. Berani mengakui bahwa dia belum tahu. Berani berharap akan dipahami. Lalu apa jadinya jika justru keberanian itu kita matikan sejak dini?

Terkadang, luka terbesar tidak datang dari kekerasan fisik, tapi dari ketidakpedulian yang halus. Dari kalimat-kalimat pendek seperti “udah jangan tanya terus”, “ini bukan urusanmu”, atau “nanti saja, sekarang diam dulu.”


Sebagian dari kita mungkin tumbuh dengan luka-luka seperti itu. Dan tanpa sadar, bisa jadi kita mewariskannya pada generasi berikutnya. Karena begitulah pola luka bekerja: yang tidak disembuhkan akan diteruskan.

Tapi kabar baiknya: pola itu bisa diputus. Dengan kesadaran. Dengan keberanian untuk mendengarkan. Dengan keikhlasan untuk menjawab, atau setidaknya berkata jujur, “Ibu/Bapak tidak tahu, yuk kita cari tahu bersama.”

Anak-anak tak menuntut kita jadi ahli. Mereka hanya butuh kehadiran dan pengakuan. Bahwa suara mereka didengar. Bahwa pertanyaan mereka punya tempat.


Aku menulis ini bukan sebagai orang tua, bukan sebagai guru, tapi sebagai seseorang yang pernah jadi anak. Yang pernah takut bertanya. Yang pernah merasa suara sendiri tidak penting. Dan aku ingin, semoga tidak ada lagi anak-anak yang tumbuh dengan beban yang sama.

Bayangkan betapa kayanya dunia jika setiap pertanyaan anak kita sambut dengan hangat. Betapa terbukanya kemungkinan jika kita tak buru-buru menyuruh diam. Betapa banyak percakapan bermakna yang bisa terjadi, hanya jika kita sedikit lebih sabar.


Terkadang, pertanyaan seorang anak bisa mengubah cara pandang kita terhadap hidup. “Kenapa langit warnanya biru?” mungkin terdengar remeh. Tapi jika kita jujur, kita juga tidak tahu pasti, bukan? Dan di sanalah letak indahnya: kita bisa belajar bersama mereka. Kita bisa menunjukkan bahwa belajar bukan hanya kewajiban anak, tapi juga bagian dari perjalanan hidup kita sebagai orang dewasa.

Maka jika hari ini seorang anak mendekat padamu dan bertanya, tahan sejenak aktivitasmu. Tatap matanya. Dengarkan pertanyaannya. Bukan karena kita harus selalu tahu jawabannya, tapi karena kita sedang membangun keberanian mereka untuk berpikir dan merasa bahwa suara mereka penting.

Dan siapa tahu, dari satu pertanyaan kecil itu, lahir seorang pemikir besar di masa depan.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *