Saat Hewan Disembelih, Pernahkah Kita Bertanya: Kapan Kita Menyembelih Sifat Buruk dalam Diri Sendiri

Deskripsi :
Qurban bukan sekadar menyembelih hewan, tapi momentum menyembelih sifat buruk yang menghalangi jiwa bertumbuh. Saat pisau menyentuh leher hewan, bisakah kita memotong ego dalam diri?
CHARACTER LEARNING – Iduladha tiba. Suara takbir menggema dari segala arah. Anak-anak berlarian menuju masjid, para orang tua mengenakan pakaian terbaik, dan hewan-hewan qurban mulai dipersiapkan untuk disembelih. Ada suasana haru, ada juga antusiasme. Tapi di tengah semua itu, satu pertanyaan sederhana muncul dalam benak saya: Saat hewan disembelih, bagaimana dengan sifat buruk kita? Apakah ikut kita sembelih, atau tetap kita pelihara?
Saya tidak sedang ingin menggurui siapa pun. Saya sendiri masih belajar. Tapi pertanyaan ini terus mengetuk-ngetuk hati saya setiap tahun. Apa gunanya menyaksikan darah hewan mengalir kalau hati kita tetap keras? Apa makna menyembelih kambing atau sapi kalau kita masih enggan menyembelih kesombongan, amarah, atau rasa iri dalam diri?
Qurban Adalah Cermin, Bukan Sekadar Ritual
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa bukan darah atau daging yang sampai kepada Allah, melainkan ketakwaan (QS. Al-Hajj: 37). Ketakwaan itu, menurut saya, tidak tumbuh dari ritual semata, tapi dari makna yang kita tanamkan dalam setiap amal.
Menyembelih hewan hanyalah simbol. Tapi simbol itu bisa menjadi cermin—jika kita mau bercermin. Di balik prosesi itu, ada pelajaran sunyi yang luar biasa: bahwa kita juga harus menyembelih sesuatu dalam diri kita sendiri.
Mungkin itu rasa ingin menang sendiri.
Mungkin itu lidah yang terlalu cepat menghakimi.
Mungkin itu kebiasaan menyimpan dendam.
Mungkin itu rasa rendah diri yang menyabotase potensi kita sendiri.
Apa pun bentuknya, sifat buruk itu sering kita biarkan tumbuh diam-diam, seperti rumput liar di halaman hati.
Pisau yang Menyentuh Leher, Tapi Tidak Menyentuh Hati
Saya pernah menyaksikan penyembelihan hewan qurban secara dekat. Saat pisau menari di leher hewan, saya melihat sesuatu yang lebih dari sekadar darah: saya melihat keikhlasan orang-orang yang mengorbankan sebagian hartanya. Tapi juga, saya merasa malu pada diri sendiri.
Pisau itu begitu tegas, begitu mantap. Tapi mengapa saya sendiri begitu ragu-ragu menyembelih kemalasan dalam diri saya? Begitu lembek saat harus memotong sikap mengeluh, atau begitu susah menahan lidah dari komentar yang menyakitkan?
Saya sadar, menyembelih hewan jauh lebih mudah daripada menyembelih ego.
Belajar dari Ibrahim dan Ismail: Dua Jiwa yang Rela Tunduk
Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail bukan tentang tragedi pengorbanan, tapi tentang kemenangan jiwa. Ibrahim diuji untuk menyembelih anaknya—ujian paling berat bagi seorang ayah. Dan Ismail pun rela menyerahkan dirinya—ujian paling berat bagi seorang anak.
Apa yang mereka sembelih sesungguhnya? Bukan tubuh Ismail. Tapi rasa kepemilikan, keakuan, dan kelekatan pada dunia.
Bagaimana dengan kita? Apa yang kita relakan demi Allah? Apakah kita siap menyembelih rasa ingin diakui? Hasrat untuk selalu benar? Keinginan untuk menang sendiri dalam setiap perdebatan?
Saya percaya, setiap orang punya “Ismail” dalam dirinya—sesuatu yang dicintai, tapi harus kita lepaskan demi pertumbuhan jiwa.
Qurban Jiwa: Menyembelih Bukan untuk Menghilangkan, Tapi Untuk Membersihkan
Kadang kita takut melepaskan sifat buruk karena merasa itu bagian dari diri kita. Padahal menyembelih bukan berarti menghilangkan keberadaan kita, tapi membersihkannya. Seperti pisau yang menguliti daging dari kulit, qurban jiwa memisahkan mana yang sejati dan mana yang palsu.
Ketika kita menyembelih ego, bukan berarti kita kehilangan harga diri. Justru kita menyelamatkan harga diri dari kerak-kerak kesombongan.
Ketika kita menyembelih amarah, bukan berarti kita lemah. Tapi kita sedang melindungi hati agar tidak hancur oleh ledakan yang kita ciptakan sendiri.
Apa yang Ingin Kita Bawa Saat Menghadap-Nya?
Di hari akhir nanti, kita tidak membawa kambing, sapi, atau kambing terbaik yang pernah kita sembelih. Kita hanya akan membawa amal, niat, dan keadaan hati. Maka qurban adalah latihan batin, agar kelak kita terbiasa melepaskan apa pun selain Allah.
Saya sering bertanya pada diri sendiri: jika suatu hari saya dipanggil menghadap-Nya, apa yang saya bawa? Apakah saya masih membawa dendam yang belum selesai? Masih membawa rasa iri pada orang yang lebih sukses? Masih membawa sakit hati yang tak pernah saya sembuhkan?
Qurban mengajarkan: sebelum nyawa kita diambil, mari belajar mengambil sifat buruk dari dalam hati dan menyembelihnya lebih dulu.
Qurban Sehari-Hari: Menyembelih Sedikit Demi Sedikit
Kita tidak harus menunggu Iduladha untuk berqurban. Setiap hari adalah kesempatan untuk menyembelih—sedikit demi sedikit.
Saat kita memilih sabar padahal ingin marah, itu qurban.
Saat kita memberi meski sedang butuh, itu qurban.
Saat kita meminta maaf padahal merasa benar, itu qurban.
Saat kita belajar memaafkan meski hati masih sakit, itu qurban.
Tidak ada darah, tidak ada kamera, tidak ada tepuk tangan. Tapi di langit, barangkali itu lebih wangi dari darah hewan qurban yang paling mahal.
Penutup: Mari Kita Sembelih Diri yang Palsu, Agar Diri yang Sejati Bisa Tumbuh
Iduladha bukan hanya soal daging yang dibagikan, tapi juga tentang makna yang dibangkitkan. Bukan soal kambing yang mati, tapi soal hati yang hidup kembali. Kita menyembelih hewan hanya sekali setahun, tapi mari kita belajar menyembelih sifat buruk kita setiap hari.
Karena hewan hanya bisa disembelih sekali, tapi ego bisa muncul setiap kali. Maka qurban sejati adalah qurban yang tak berhenti di pisau, tapi berlanjut dalam doa, dalam sabar, dalam diam, dalam niat, dan dalam cinta yang makin murni pada Sang Pencipta.[*]