Saat Kita Pun Bingung Arah: Menemani Anak Remaja Meski Tak Selalu Tahu Harus ke Mana

Deskripsi :
Tak selalu punya jawaban, orang tua pun terkadang bingung. Tapi hadir dan memahami adalah pijakan yang bermakna.
CHARACTER LEARNING – Kadang-kadang, saya duduk diam memandang anak remaja saya dan bertanya dalam hati, “Apakah aku benar-benar tahu ke mana arah hidupnya akan berjalan?” Dan jujur saja, tidak selalu saya tahu jawabannya.
Ada masa-masa ketika menjadi orang tua itu terasa seperti menjelajahi hutan yang belum pernah kita lewati, tanpa peta, dan kabut tebal menghalangi pandangan. Anak kita tumbuh, berubah, bertanya, melawan, diam, tersenyum, marah, jatuh cinta, kecewa… dan kita mencoba mengikuti jejak langkahnya sambil menahan napas, berharap tidak membuat kesalahan fatal.
Tapi justru di titik itulah kita diingatkan: menjadi orang tua bukan tentang selalu tahu jawabannya, tapi tentang selalu bersedia hadir di tengah ketidaktahuan itu.
Remaja: Bukan Anak Kecil, Belum Juga Dewasa
Remaja itu dunia transisi. Mereka bukan lagi anak kecil yang bisa digendong dan ditenangkan dengan pelukan, tapi juga belum dewasa yang bisa sepenuhnya mandiri. Mereka hidup di tengah perasaan yang kompleks, pikiran yang bertumbuh cepat, dan tekanan sosial yang tidak sedikit.
Dan kita, para orang tua, sering kali merasa tertinggal. Kadang mereka sudah berada tiga langkah di depan, kadang lima langkah di belakang, kadang menyimpang ke jalan yang tak pernah kita bayangkan.
Di saat seperti itu, kita pun jadi ragu: apakah ini saatnya mendorong, menarik, atau justru diam menunggu?
Tidak Selalu Harus Tahu
Saya pernah merasa harus menjadi kompas bagi anak. Harus punya semua jawaban. Harus tahu apa yang terbaik baginya. Tapi semakin saya mencoba menjadi “serba tahu”, semakin saya menjauh darinya. Ia merasa dikendalikan. Ia merasa tidak dipercaya.
Lalu saya belajar — dan ini bukan hal yang mudah — bahwa saya tidak harus selalu tahu. Saya tidak harus memaksakan arah yang saya anggap benar. Saya hanya perlu jujur, “Ayah juga kadang bingung, Nak. Tapi Ayah di sini. Kita cari tahu bareng-bareng, ya?”
Dan dari kejujuran itu, hubungan kami mulai tumbuh. Bukan hubungan antara atasan dan bawahan, tapi antara dua manusia yang sedang belajar saling memahami.
Menjadi Teman Perjalanan
Bayangkan kalau kita sedang mendaki gunung. Anak remaja kita yang membawa kompasnya sendiri. Kadang ia yakin, kadang ia ragu. Tugas kita bukan merebut kompas itu, tapi menemani dari belakang — siap memberi senter saat hari mulai gelap, siap memeluk ketika ia terjatuh, dan siap memberi ruang saat ia ingin jalan sendiri.
Menjadi orang tua pada masa remaja anak, lebih banyak tentang keberanian untuk hadir dan diam. Keberanian untuk tidak menghakimi. Keberanian untuk menahan diri tidak berkata, “Tuh, kan, Ibu sudah bilang,” bahkan ketika naluri kita sangat ingin berkata demikian.
Mengganti “Harus” dengan “Mari”
Banyak dari kita yang terbiasa dengan kalimat, “Kamu harus begini,” atau “Sudah Ibu bilang, jangan begitu.” Tapi coba kita ubah sedikit menjadi, “Mari kita coba cari tahu,” atau “Menurut kamu, apa yang bisa kita lakukan bersama?”
Kata-kata kecil seperti itu bisa membuka pintu besar dalam komunikasi. Anak remaja bukan lagi butuh arahan semata. Mereka butuh merasa dihargai sebagai manusia yang juga bisa berpikir dan memilih, meskipun kadang salah. Bukankah kita juga begitu dulu?
Ketakutan yang Manusiawi
Sebagai orang tua, kita takut anak kita salah jalan. Takut mereka terluka. Takut mereka gagal. Dan di balik semua itu, ada rasa takut dalam diri kita sendiri — bahwa kita tidak cukup baik sebagai orang tua.
Tapi justru dari ketakutan itulah lahir cinta yang tulus. Karena kita peduli. Karena kita ingin yang terbaik. Dan karena kita tahu, hidup ini tidak pernah benar-benar bisa ditebak jalannya.
Maka daripada memaksa arah, mungkin lebih bijak jika kita memperkuat langkah. Memberi anak bekal nilai-nilai yang mereka bisa bawa, ke mana pun akhirnya mereka melangkah.
Ketika Anak Tak Ingin Bicara
Pernah suatu hari anak saya pulang sekolah dengan wajah kusut. Saya tanya baik-baik, dia hanya menjawab, “Capek.” Saya menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh. Malamnya saya hanya menyodorkan teh hangat ke kamarnya dan bilang, “Kalau mau cerita, Ayah di ruang tamu, ya.”
Lalu malam itu ia datang. Tidak minta solusi. Hanya ingin didengar. Saya tidak menggurui. Tidak memberi ceramah. Saya hanya bilang, “Wajar kalau kamu ngerasa kayak gitu. Terima kasih udah cerita.”
Terkadang yang dibutuhkan anak remaja bukan jawaban, tapi ruang aman untuk merasa.
Kita Pun Masih Belajar
Menjadi orang tua bukanlah peran yang selesai. Ia adalah proses pembelajaran sepanjang hidup. Kita tumbuh bersama anak-anak kita. Kita belajar dari kesalahan, dari diamnya mereka, dari tangisnya mereka, dari pilihan-pilihan yang mereka ambil.
Mengakui bahwa kita pun tidak selalu tahu arah bukan berarti kita lemah. Justru itu menunjukkan bahwa kita cukup kuat untuk jujur. Dan dari kejujuran itu, tumbuh rasa saling percaya.
Penutup: Menjadi Pelita, Bukan Penunjuk Jalan
Anak remaja kita tidak selalu butuh kita sebagai penunjuk jalan. Tapi mereka butuh kita sebagai pelita — cahaya yang menemani mereka saat gelap, bukan cahaya yang menyilaukan mata mereka hingga mereka kehilangan arah sendiri.
Maka biarlah mereka berjalan dengan langkah mereka sendiri. Kita akan tetap di sini, menjadi rumah yang menanti dengan hangat. Tak perlu tahu segalanya. Cukup hadir, cukup percaya, cukup cinta.
Karena dalam kebingungan sekalipun, cinta yang tulus tetap bisa menemukan jalan.[*]