Sekolah Harus Kembali Menjadi Rumah, Bukan Pabrik

Deskripsi: Sekolah harus kembali menjadi rumah. Kita bisa mengubah sekolah menjadi tempat anak ingin datang, bukan harus datang.
CHARACTER LEARNING – Kadang saya bertanya-tanya: untuk apa anak-anak pergi ke sekolah setiap hari? Apakah benar mereka sedang dibentuk menjadi manusia utuh, atau sekadar dicetak menjadi produk yang seragam?
Dulu, sekolah dianggap sebagai tempat yang istimewa. Tempat anak-anak tumbuh, bermain, belajar mengenal dunia dan dirinya sendiri. Tapi sekarang, sekolah lebih terasa seperti pabrik besar yang sibuk mencetak produk massal: anak-anak dipaksa belajar hal yang sama, dengan cara yang sama, dan dalam waktu yang sama. Seolah-olah mereka datang dari bahan mentah yang identik, dan akan keluar sebagai barang jadi dengan label “sukses” yang ditentukan oleh angka.
Ini bukan kritik untuk menyalahkan siapa-siapa. Saya hanya sedang merenung. Ada sesuatu yang terasa hilang dari ruh pendidikan kita. Terlalu banyak target, terlalu sedikit kasih sayang. Terlalu banyak ujian, terlalu sedikit pengertian. Terlalu banyak prosedur, terlalu sedikit kedekatan. Sekolah kehilangan kehangatannya. Ia tak lagi menjadi rumah tempat anak pulang, tapi pabrik tempat anak harus kuat bertahan.
Mengapa Sekolah Harus Menjadi Rumah?
Rumah adalah tempat paling dasar dalam membentuk manusia. Di rumah, kita belajar mencintai, memahami, memaafkan. Rumah adalah tempat yang menerima kita apa adanya, bukan karena prestasi, bukan karena kecepatan belajar, bukan karena kita sesuai standar. Rumah memberi rasa aman. Bahkan jika dunia menolak, rumah tetap merangkul.
Itulah sebabnya sekolah seharusnya menjadi rumah kedua. Tempat yang bukan hanya membentuk kecerdasan, tapi juga merawat jiwa. Tempat anak bisa merasa gagal tanpa takut dihukum. Tempat anak bisa marah tanpa takut dikucilkan. Tempat anak bisa menjadi dirinya sendiri tanpa harus berpura-pura agar diterima.
Tapi, mari jujur. Apakah sekolah hari ini seperti itu?
Coba perhatikan wajah anak-anak saat pagi hari. Banyak dari mereka berangkat sekolah seperti robot. Mata kosong. Langkah malas. Dada sesak. Mereka tidak sedang pergi ke rumah. Mereka seperti buruh kecil yang masuk ke jalur produksi.
Logika Pabrik dalam Dunia Pendidikan
Pabrik bekerja dengan logika efisiensi: seragam, standar, cepat, dan hemat. Setiap barang diproses dengan cara yang sama agar bisa dijual dengan kualitas yang konsisten. Tak masalah kalau ada bagian yang rusak—tinggal diganti. Tapi pendidikan manusia tak bisa memakai logika seperti itu.
Sayangnya, sekolah kita banyak mengadopsi cara kerja pabrik. Anak-anak harus belajar materi yang sama, dalam waktu yang sama, dan diuji dengan cara yang sama. Anak yang lambat dianggap masalah. Anak yang berbeda dianggap menyimpang. Kreativitas dilihat sebagai gangguan. Keunikan dipaksa untuk menyeragam.
Padahal manusia bukan produk massal. Setiap anak datang dengan kisah, jiwa, dan kecepatan tumbuh yang berbeda. Tidak bisa diperlakukan dengan mesin yang sama. Tapi sekolah sering tak punya waktu untuk memahami itu. Target kurikulum lebih penting daripada mengenali rasa takut seorang anak. Agenda tahunan lebih penting daripada kesedihan yang tersembunyi di mata seorang murid.
Apa yang Terjadi Saat Sekolah Tak Lagi Menjadi Rumah?
Yang terjadi adalah: anak-anak kehilangan jiwanya. Mereka belajar bukan karena cinta ilmu, tapi karena takut gagal. Mereka mengejar nilai bukan karena ingin berkembang, tapi karena takut dicap bodoh. Mereka kehilangan arah karena pendidikan tak lagi memandu dari hati ke hati.
Dan dampaknya bukan hanya sekarang. Banyak remaja yang merasa hampa, kehilangan makna, tak tahu harus ke mana. Mereka lulusan sistem yang katanya sukses, tapi jiwanya terluka. Mereka pintar menjawab soal, tapi bingung menjawab pertanyaan hidup. Mereka terbiasa mendapat nilai bagus, tapi merasa tak punya nilai sebagai manusia.
Saya pernah berbicara dengan seorang anak SMA yang sering juara kelas, tapi berkata dengan suara pelan: “Saya capek jadi anak yang harus selalu bisa.” Bukan karena dia tidak mampu, tapi karena tak pernah diberi ruang untuk menjadi boleh gagal.
Apa artinya keberhasilan akademis jika di baliknya anak tumbuh dalam tekanan? Apa artinya ranking jika jiwanya retak?
Bagaimana Mengubah Sekolah Menjadi Rumah Lagi?
Saya percaya perubahan bisa dimulai dari kesadaran sederhana: bahwa anak-anak adalah manusia, bukan mesin. Mereka punya hari-hari baik dan buruk. Mereka bukan objek untuk dicetak, tapi subjek yang harus diajak tumbuh bersama.
Sekolah sebagai rumah adalah sekolah yang mendengar anak, bukan hanya menyuruh. Sekolah yang memberi waktu untuk mengenal, bukan terburu mengejar kurikulum. Sekolah yang memanusiakan guru dan murid, bukan menuntut keduanya untuk sempurna setiap saat.
Guru yang menjadi sahabat, bukan pengawas. Kepala sekolah yang menjadi pelindung, bukan manajer angka. Orang tua yang terlibat dengan cinta, bukan sekadar protes soal nilai.
Sekolah rumah adalah sekolah yang penuh tawa, pelukan, dan kesediaan untuk duduk bersama ketika ada masalah. Sekolah yang tak malu untuk menangis bersama murid yang kehilangan orang tuanya. Sekolah yang tak segan mengubah metode karena tahu bahwa manusia bukan angka statistik.
Penutup: Pulang ke Rumah yang Kita Lupakan
Mungkin kita semua, sebagai bangsa, sedang rindu rumah. Dan barangkali itulah sebabnya pendidikan kita terasa kosong. Karena tempat yang seharusnya jadi rumah, berubah menjadi pabrik.
Tapi belum terlambat. Kita bisa kembali.
Kita bisa mengubah sekolah menjadi tempat anak ingin datang, bukan harus datang. Tempat anak bisa tumbuh sesuai dirinya, bukan sesuai standar sistem. Tempat anak belajar mencintai hidup, bukan takut hidup.
Sekolah harus kembali menjadi rumah. Bukan sekadar slogan di spanduk Hari Pendidikan Nasional. Tapi menjadi ruh dari semua keputusan, semua pembelajaran, dan semua hubungan di dalamnya.
Sebab kalau bukan rumah, lalu di mana anak-anak akan pulang?[*]