Tentang CUKUP yang Lebih Menenangkan daripada LEBIH


Aku sering berpikir, mengapa hati terasa lebih ringan saat aku berkata, “sudah cukup”, dibanding saat berkata, “aku harus punya lebih”. Padahal, secara logika, lebih itu mestinya membawa banyak kebaikan. Lebih uang, lebih prestasi, lebih relasi, lebih segala-galanya. Tapi kenyataannya, semakin aku mengejar “lebih”, semakin sulit aku menemukan rasa damai.

Barangkali karena “lebih” seringkali datang bersama beban.

Pernah satu waktu aku merasa sudah punya banyak. Pekerjaan yang stabil, penghasilan yang lumayan, bahkan pujian dari orang-orang. Tapi entah kenapa, tidurku tak nyenyak. Di kepala masih berseliweran target-target baru, mimpi-mimpi baru, ambisi yang tak kunjung selesai. Seperti meminum air laut—semakin diminum, semakin haus.

Sedangkan saat aku benar-benar merasa cukup—cukup sehat hari ini, cukup bisa makan nasi hangat bersama keluarga, cukup bisa tertawa sebentar bersama teman—rasa damai itu datang. Bukan karena aku berhenti berusaha, tapi karena aku berhenti menekan diriku sendiri untuk harus selalu “lebih”.


Aku kira “lebih” adalah kebutuhan, ternyata seringkali hanya perbandingan.

Kita ingin lebih bukan karena kita benar-benar membutuhkannya, tapi karena kita melihat orang lain sudah punya. Kita ingin punya rumah lebih besar karena teman lama baru saja memamerkan foto rumah barunya. Kita ingin jalan-jalan ke luar negeri karena melihat tetangga posting foto liburannya. Kita ingin anak kita ranking satu, karena anak orang lain ranking satu.

Cemburu yang diam-diam itu menyamar jadi ambisi. Dan kita menyebutnya motivasi. Padahal, kalau jujur pada diri sendiri, mungkin kita tidak benar-benar membutuhkannya. Kita hanya takut kalah.

Lalu kita lupa. Hidup bukan lomba.


Aku tidak mengatakan “lebih” itu buruk. Sama sekali tidak. Kadang “lebih” memang baik—lebih sabar, lebih bersyukur, lebih berani mencoba. Tapi saat “lebih” menjadi tekanan, bukan lagi harapan, saat ia membuat kita lelah bahkan untuk sekadar menikmati apa yang sudah ada, maka mungkin sudah waktunya bertanya: sebenarnya kita sedang mengejar apa?

Kadang kita terlalu sibuk mengejar angka, sampai lupa bagaimana rasanya benar-benar hidup. Kita ingin lebih kaya, tapi kehilangan waktu bercanda dengan anak. Kita ingin lebih sukses, tapi kehilangan kesempatan duduk tenang bersama pasangan sambil menyeruput teh sore. Kita ingin lebih banyak relasi, tapi kehilangan kedekatan dengan diri sendiri.

Aneh, ya. Kita ke mana-mana, tapi malah menjauh dari rumah hati kita sendiri.


Aku mulai belajar mencintai “cukup”. Bukan karena menyerah, tapi karena sadar bahwa tidak semua yang bisa dikejar harus dikejar. Ada keindahan dalam keterbatasan. Ada ketenangan dalam menerima.

Cukup bukan berarti stagnan. Cukup berarti tahu kapan harus berhenti agar tidak kehilangan diri sendiri. Cukup berarti memilih untuk menikmati, bukan sekadar memiliki. Cukup berarti bersyukur, bukan berarti pasrah. Ada kekuatan dalam kata itu, kekuatan yang membuat kita tidak mudah dikendalikan oleh dunia.

Saat kita bilang, “cukup”, kita sedang memeluk diri sendiri dan berkata, “kamu tidak harus jadi sempurna untuk layak bahagia.”

Dan itu melegakan.


Kini aku lebih sering bertanya, bukan lagi: “Bagaimana caranya mendapatkan lebih?”, tapi: “Apa yang bisa aku nikmati hari ini?” Mungkin hanya sarapan sederhana, tapi dinikmati dengan tenang. Mungkin hanya pekerjaan biasa, tapi dilakukan dengan hati. Mungkin hanya senyum orang rumah, tapi cukup untuk menyembuhkan lelah.

Ternyata, damai itu bukan soal banyaknya yang kita punya, tapi kedalaman cara kita memandang. Mungkin selama ini kita bukan kekurangan “lebih”, tapi kekurangan rasa “cukup”.

Dan saat kita belajar merasa cukup, hidup jadi lebih jujur, lebih ringan, lebih benar-benar hidup.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *