Yatim yang Tak Diakui Dunia: Suara dari Anak Fatherless

Deskripsi: Refleksi personal tentang luka anak fatherless—yatim yang kehilangan sosok ayah tanpa kehilangan secara fisik.
CHARACTER LEARNING – Orang sering memaknai yatim sebagai anak yang ditinggal mati oleh ayahnya. Sebuah kehilangan yang nyata, disaksikan oleh mata dunia. Di masyarakat, anak yatim seringkali mendapat ruang simpati, diselimuti kasih sayang dari orang-orang yang tersentuh hatinya. Ada banyak tangan yang terulur, kepala mereka dielus penuh kelembutan, dan dunia seperti berkata, “Kami tahu kamu kehilangan.”
Namun, bagaimana jika kehilangan itu tak terlihat? Bagaimana jika sang ayah tak pernah benar-benar mati, tapi juga tak pernah hadir? Tidak untuk menatap, memeluk, atau sekadar memanggil nama dengan suara lembut. Aku menyebutnya fatherless—sebuah keadaan di mana ayah masih hidup, namun keberadaannya seperti bayang-bayang: ada tapi tak menyentuh, dekat tapi tak menjangkau.
Aku adalah salah satu dari mereka. Yatim, tapi tak diakui dunia sebagai yatim.
Tak ada satu pun ritual belasungkawa yang mengiringi kepergian ayahku dari hidupku. Tak ada pelayat, tak ada doa-doa penghibur, dan tentu saja, tak ada pelukan simpati dari orang-orang sekitar. Sebab bagi mereka, aku masih punya ayah. Seorang pria yang masih bernapas di dunia ini, tapi yang tak pernah mengulurkan tangan untukku. Dan di mata mereka, itu cukup.
Padahal, kehilangan yang tak terlihat ini sama nyerinya. Bahkan kadang lebih. Sebab ia tak hanya tentang kehilangan figur ayah, tapi juga tentang kehilangan pengakuan bahwa aku berhak merasa kehilangan. Aku berduka dalam diam. Air mataku dianggap berlebihan. Rinduku dianggap tak masuk akal.
Yang menyakitkan dari menjadi fatherless bukan hanya soal fisik yang tak pernah hadir, tapi juga tentang harapan yang dipatahkan berkali-kali. Tentang janji-janji yang diucap hanya agar bisa dilupakan. Tentang hari-hari ulang tahun yang selalu sepi dari ucapan ayah. Tentang melihat anak-anak lain dipeluk ayah mereka, sementara aku hanya bisa menunduk dan berharap suatu hari bisa merasakan hal serupa.
Dunia tak tahu rasanya menjadi aku. Dunia tak tahu bagaimana aku tumbuh sambil terus bertanya-tanya, “Apa aku tidak cukup berharga untuk dicintai oleh ayahku sendiri?” Dunia juga tak paham kenapa aku begitu rapuh saat melihat anak kecil memanggil ayahnya di taman. Mereka tak tahu bahwa satu panggilan sederhana, “Ayah,” adalah sesuatu yang hanya bisa aku ucapkan dalam doa.
Kalau saja cinta dan kasih sayang bisa dibeli, itu adalah hal pertama yang akan aku beli. Aku ingin tahu rasanya dipeluk tanpa syarat. Aku ingin tahu bagaimana rasanya punya seseorang yang berdiri di barisan paling depan untukku, yang tak perlu dipanggil berkali-kali karena kehadirannya adalah kepastian. Tapi hidup bukan toko swalayan, dan kasih sayang bukan barang diskon yang bisa diambil siapa saja.
Maka aku belajar mencintai diriku sendiri. Tidak mudah, tentu saja. Karena dalam proses itu aku harus membongkar luka-luka yang selama ini kupendam. Tapi di tengah segala kehilangan, aku menemukan satu hal yang tak bisa diambil siapa pun dariku: kemauan untuk tetap hidup dan tumbuh, meski tanpa sosok ayah.
Aku menulis ini bukan untuk mengemis belas kasihan. Tidak. Aku hanya ingin dunia tahu bahwa ada banyak anak di luar sana yang mungkin senasib denganku. Yang kehilangan sosok ayah, meskipun sang ayah masih hidup. Dan kami lelah harus menjelaskan pada dunia bahwa kami juga berhak merasa sedih, marah, dan kecewa.
Aku tahu, tidak semua orang akan mengerti. Tapi aku berharap, jika tulisan ini sampai pada seseorang yang pernah merasa ditinggalkan tanpa alasan, seseorang yang malam-malamnya diisi oleh tangis yang disembunyikan dari dunia—maka biarlah mereka tahu bahwa mereka tidak sendiri.
Menjadi fatherless tidak membuat kami lemah. Justru dari kehilangan itulah kami belajar berdiri sendiri, memeluk diri saat tak ada pelukan lain yang datang. Kami belajar menjadi rumah bagi diri sendiri, menumbuhkan pohon harapan di tanah yang pernah kering.
Dan jika kelak aku menjadi orang tua, aku tahu persis apa yang tidak akan kulakukan. Aku tahu luka ini terlalu dalam untuk diwariskan. Aku tahu, anakku kelak harus tumbuh dengan keyakinan bahwa ia dicintai, dilihat, dan didengarkan.
Karena pada akhirnya, kita semua hanya ingin diakui. Bahwa rasa sakit ini nyata, bahwa kehilangan ini sah, meski tidak ditandai nisan atau pemakaman. Kami hanya ingin dunia berhenti menghakimi kesedihan yang tidak mereka alami. Kami hanya ingin dipeluk—kalau pun bukan oleh ayah, setidaknya oleh pengertian.
Dan hari ini, saat aku menulis ini, aku memeluk diriku sendiri. Dengan lembut. Dengan sabar. Sebab untuk pertama kalinya, aku mengizinkan diriku merasakan kehilangan itu sepenuhnya—tanpa malu, tanpa ragu. Karena kehilangan yang diakui adalah awal dari penyembuhan yang sesungguhnya.[*]